Baca postingan selengkapnya di sini
[Language English, Español, Português, Français, Bahasa]
Oleh Mary Louise Malig dan Pablo Solón
Pemerintah Brasil akan menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak ke-30 Konvensi Iklim PBB (COP 30) yang akan diselenggarakan di Belém do Pará pada November 2025, di mana mereka berencana untuk meluncurkan Tropical Forest Finance Facility (TFFF) atau Fasilitas Pembiayaan Hutan Tropis.

Inisiatif ini, yang mempertemukan negara-negara dengan hutan hujan terbesar di dunia, difasilitasi di sela-sela KTT G20 di Indonesia pada November 2022. Sebuah kesepakatan diumumkan antara Brasil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo—tiga negara yang jika digabungkan diperkirakan memiliki sekitar 52% hutan hujan dunia.
Mekanisme ini pertama kali digagas lebih dari 15 tahun yang lalu oleh seorang eksekutif senior Bank Dunia bernama Kenneth Lay. Pada tahun 2018, Center for Global Development menyebarluaskan sebuah proposal terkait mekanisme keuangan ini [1], dan pemerintah Brasil kemudian mengadopsinya serta mempresentasikannya dalam COP 28 di Dubai. Sejak saat itu, sebuah tim yang terdiri dari perwakilan pemerintah Brasil, Bank Dunia, Lion’s Head Global Partners, dan sejumlah pihak lainnya mulai menyusun proposal rinci yang tetap menggunakan akronim TFFF, namun dengan makna baru untuk salah satu huruf “F”: kini dikenal sebagai Tropical Forest Forever Facility.
Hingga Maret 2025, tim ini telah menghasilkan dua concept note mengenai TFFF. Yang pertama, yang akan kami sebut sebagai Versi 1, dirilis pada 5 Juli 2024. [2] Yang kedua, atau Versi 2, dirilis pada 24 Februari 2025. [3] Terdapat banyak perbedaan antara kedua versi ini, yang akan kami bahas lebih lanjut di sini. Sebagai contoh, dalam Versi 2, Brasil membentuk sebuah Komite Pengarah Sementara yang terdiri dari enam negara berhutan tropis (Brasil, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Ghana, Indonesia, dan Malaysia) serta enam negara potensial sponsor TFFF (Prancis, Jerman, Norwegia, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat).
Apakah US$4 Per Hektare Bisa Memperbaiki Kegagalan Pasar?
Menurut concept note TFFF tertanggal 5 Juli 2024:
“Dengan memberikan nilai pada hutan tropis yang masih berdiri dan yang telah direstorasi, fasilitas ini (TFFF) akan membantu mengatasi kegagalan pasar saat ini dengan memberikan nilai atas jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan-hutan tersebut. Jasa ini mencakup penyerapan karbon, pengelolaan air, pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan tanah, daur ulang nutrisi, pengaturan iklim di tingkat benua dan global, serta ketahanan terhadap perubahan iklim. Mengoreksi kegagalan pasar ini akan mengurangi kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi, baik di negara-negara berhutan maupun secara global.” (Versi 1)
TFFF didasarkan pada logika kapitalisme hijau, yang memberikan nilai moneter pada jasa ekosistem dengan dalih untuk melestarikannya dan mencegah kerusakan serta kehilangannya. Menurut pandangan ini, sesuatu yang tidak bernilai secara ekonomi cenderung diabaikan; maka jika suatu jasa ekosistem diberi harga, ia dapat menarik modal yang ingin memelihara sekaligus mengambil keuntungan dari jasa tersebut. Pohon selama ini telah dikomodifikasi atas aspek materialnya, seperti kayu, buah, akar, atau daunnya. Sebaliknya, jasa ekosistem berkaitan dengan aspek tak berwujud dari pohon—kemampuannya menghasilkan oksigen, menyimpan karbon, melepaskan uap air ke atmosfer, menjadi habitat bagi hewan dan serangga, mengendalikan erosi, memberi keteduhan, dan berbagai fungsi lingkungan lainnya.

Bagi kapitalisme hijau, atau apa yang disebut “ekonomi hijau,” krisis iklim bukanlah hasil dari logika rakus akumulasi laba, melainkan akibat dari kegagalan pasar kapitalis dalam memberikan nilai moneter pada jasa lingkungan, sehingga tidak menarik bagi investasi modal. Premis dasar dari TFFF, tentu saja, adalah bahwa hutan memiliki nilai. Namun seluruh wacana tentang penilaian komersial terhadap jasa ekosistem runtuh ketika concept note TFFF menyatakan bahwa kegagalan pasar dapat diperbaiki hanya dengan membayar US$4 per hektare hutan yang masih berdiri. Hanya US$4 untuk seluruh jasa lingkungan dari satu hektare hutan? Padahal seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jasa lingkungan yang diberikan hutan mencakup “penyerapan karbon, pengelolaan air, pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan tanah, daur ulang nutrisi, pengaturan iklim di tingkat benua dan global, serta ketahanan terhadap perubahan iklim.” Ini adalah fungsi-fungsi yang luar biasa penting dan mendasar.
Lalu, dari mana perhitungan itu berasal? Kenyataannya, angka yang diusulkan sebesar US$4 per hektare tersebut berasal dari perkiraan tingkat pengembalian investasi dari sebuah dana investasi multilateral dan bukanlah hasil dari upaya —sekalipun gagal atau mustahil—untuk menentukan harga atas jasa ekosistem hutan. [4]
TFFF dirancang untuk membayar investor sebesar US$4 per hektare per tahun untuk satu miliar hektare hutan tropis yang tersebar di 72 negara, sebagaimana tercantum dalam daftar pada Versi 2. Dalam Versi 1 concept note, tercantum 67 negara berhutan tropis berpendapatan rendah atau menengah berdasarkan klasifikasi Bank Dunia melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Sebaliknya, Versi 2 mencantumkan negara seperti Tiongkok, yang diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan menengah atas menurut IBRD. Selain itu, Versi 2 juga memperluas definisi negara penerima dengan memasukkan negara-negara yang berada di dalam kawasan bioma hutan lembap berdaun lebar tropis dan subtropis serta wilayah bakau yang berdekatan, termasuk negara seperti Argentina.
Kawasan asli yang dicakup oleh hutan lembap berdaun lebar tropis dan subtropis

Untuk membayar US$4 per hektare bagi satu miliar hektare hutan tropis yang masih berdiri, dana investasi perlu menghasilkan pendapatan bersih tahunan sebesar US$4 miliar.
Bagaimana TFFF Akan Mengumpulkan US$4 Miliar Per Tahun?
Menurut kedua concept note TFFF, untuk menghasilkan US$4 miliar setiap tahun, dana tersebut harus menghimpun dan menginvestasikan sebesar US$125 miliar. Versi 1 menyatakan bahwa US$125 miliar dengan tingkat pengembalian tahunan sebesar 7,5% akan menghasilkan US$9,375 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar US$5,375 miliar akan dibayarkan kepada investor publik dan swasta, dan US$4 miliar akan dibagikan kepada negara-negara berdasarkan luas hutan tropis yang masih berdiri, dengan pengurangan tertentu atas penalti karena deforestasi yang mungkin terjadi. Versi 2 menyebutkan bahwa hanya US$3,4 miliar yang akan dikumpulkan setiap tahun, namun pembayaran sebesar US$4 per hektare hutan tetap akan dilakukan karena tingkat deforestasi saat ini, yang menghasilkan berbagai pengurangan penalti.
Dengan kata lain, TFFF akan beroperasi dengan logika yang sama seperti bank: meminjam uang dengan suku bunga rendah dan menginvestasikannya dengan imbal hasil lebih tinggi untuk meraih keuntungan. TFFF akan meminjamkan US$125 miliar dengan suku bunga tahunan sebesar 4,4% (4,9% dalam Versi 2) dan melakukan berbagai investasi untuk mendapatkan tingkat pengembalian rata-rata sebesar 7,5% (7,6% dalam Versi 2), sehingga memperoleh keuntungan sebesar 3,1% atas modalnya (2,7% dalam Versi 2), yang kemudian akan dibagikan kepada negara-negara berhutan tropis.

Concept note tersebut menjelaskan bahwa dana sebesar US$125 miliar terutama akan berbentuk pinjaman, bukan hibah.
“TFFF tidak bergantung pada hibah dari donor yang rentan terhadap perubahan rezim atau prioritas anggaran negara-negara kaya yang berubah-ubah, melainkan menawarkan proposisi nilai yang kuat kepada investor sponsor dengan memberikan imbal hasil pasar yang kompetitif.” (Versi 2)
Salah satu arsitek TFFF, Garo Batmanian, yang menjabat sebagai direktur layanan kehutanan Brasil, menegaskan gagasan ini dengan menyatakan, “Yang kami minta adalah investasi.”
Akan ada dua jenis investor dalam skema TFFF:
- Sponsor, yaitu negara-negara berpenghasilan tinggi, organisasi multilateral seperti Bank Dunia, LSM internasional, dan organisasi filantropi, yang akan memberikan investasi satu kali yang sepenuhnya harus dikembalikan. Beberapa di antaranya juga mungkin memberikan hibah atau pinjaman dengan skema lunak.
- Investor pasar, yang akan direkrut dari pasar modal utang melalui penerbitan obligasi jangka panjang dengan peringkat tinggi, ditujukan bagi mereka yang mencari tingkat pengembalian sedikit lebih tinggi dibanding obligasi pemerintah dari negara-negara seperti Amerika Serikat.
Para “sponsor” TFFF akan berkontribusi sebesar 20% dari total US$125 miliar, sementara 80% sisanya akan dihimpun dari “investor pasar.” Artinya, sponsor akan menginvestasikan US$25 miliar, dan investor pasar sebesar US$100 miliar. Investasi ini akan dikembalikan dalam jangka waktu 20, 30, atau 40 tahun, tergantung pada ketentuan surat berharga yang dibeli oleh masing-masing jenis investor, baik publik maupun swasta.
Namun sejauh ini, belum jelas negara mana yang bersedia meminjamkan dana kepada TFFF—dan dengan syarat apa—untuk mencapai target awal sebesar US$25 miliar atau 20% dari total dana.
“Jika target sponsor capital sebesar USD 25 miliar tidak tercapai di awal, maka TFFF akan mengurangi nilai pembayaran per hektare secara proporsional pada tahun-tahun awal dan terus melakukan penggalangan dana hingga target terpenuhi.” (Versi 1)
Investasi sebesar US$100 miliar dari “investor pasar” pun belum dijamin keberadaannya. Semua ini ibarat istana dari kartu remi—rapuh dan penuh ketidakpastian—sementara kebakaran hutan dan deforestasi terus melahap 3,5 juta hektare hutan tropis setiap tahunnya.
Apakah Dana US$4 Miliar Per Tahun Dijamin?
Kedua versi dokumen TFFF mengakui bahwa jika dana yang berhasil dihimpun kurang dari US$125 miliar, atau jika tingkat pengembaliannya kurang dari 7,5%, maka pembayaran per hektare bisa jadi lebih rendah dari US$4 atau bahkan “sementara” dihentikan. Hal ini menegaskan bahwa pembayaran atas keberadaan hutan yang masih berdiri bukanlah bentuk pengakuan atas pentingnya hutan itu sendiri, melainkan permainan finansial khas lembaga keuangan kapitalis.
Dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB di Cali (COP 16), mantan Menteri Lingkungan Hidup Kolombia, Susana Mohammad, menyatakan dukungannya terhadap TFFF, dengan mengatakan bahwa “apa yang diinginkan negara-negara kaya sumber daya adalah aliran dana yang cukup, dapat diprediksi, dan konsisten untuk lembaga-lembaga publik agar kami dapat memperkuat tata kelola ekosistem.” [5] Tapi apakah US$4 per hektare itu cukup, dapat diprediksi, dan konsisten? Versi 1 dari TFFF mencatat bahwa “karena TFFF merupakan dana investasi, maka hasil pengembaliannya tidak dapat dijamin.” Selanjutnya dijelaskan:
“Dengan membeli aset jangka panjang, TFFF akan mengamankan aliran pendapatan yang dapat diprediksi, namun tetap menghadapi risiko reinvestasi dan volatilitas nilai pasar dari portofolio asetnya. Jika nilai pasar turun di bawah ambang batas tertentu, mungkin diperlukan pengurangan tingkat pembayaran kepada TFN. Namun, preseden historis menunjukkan bahwa hal ini hanya terjadi dalam keadaan luar biasa.” (Versi 1)

Para finansialis dan bankir di balik TFFF tampaknya tidak menyadari bahwa justru karena memburuknya krisis iklim, krisis kapitalisme, dan memanasnya konflik geopolitik imperial, maka “keadaan luar biasa” justru kini menjadi hal yang normal. Dalam seluruh analisis risiko mereka, kesimpulannya selalu bahwa masalah-masalah yang muncul hanya bersifat sementara dan dapat dikelola.
Kedua versi dokumen tersebut juga mengakui bahwa seluruh mekanisme ini pada akhirnya bisa saja berujung pada “likuidasi yang tertib”:
“Jika terjadi penurunan nilai aset TFFF secara permanen, TFFF akan mengurangi pembayaran per hektare saat ini maupun di masa depan demi mengembalikan keberlanjutan keuangan TFFF. Hal ini dapat menyebabkan terhentinya pembayaran untuk sementara kepada TFN yang memenuhi syarat. Jika TFFF tidak lagi mendapatkan peringkat layak investasi, maka akan dimulai proses likuidasi secara tertib.” (Versi 1)
Pasar Karbon yang Baru?
Mekanisme TFFF tidak akan menghasilkan kredit karbon atau keanekaragaman hayati, dan tidak pula memungkinkan adanya skema pengimbangan atau kompensasi seperti kredit karbon—yakni izin untuk tetap mencemari di satu tempat dengan membeli pengurangan emisi bersertifikat dari tempat lain. TFFF diklaim berbeda dari, namun bersifat pelengkap terhadap, pasar karbon REDD+. Jika REDD+ berfokus pada penghitungan ton emisi karbon yang konon berhasil dikurangi, maka TFFF bertujuan untuk memberi imbalan atas setiap hektare hutan yang masih berdiri.
Kedua versi dokumen TFFF menyatakan bahwa hutan selama ini sangat kekurangan pendanaan melalui skema REDD+ dibandingkan dengan nilai jasa lingkungan yang mereka berikan.

“Skala dukungan REDD+ hingga saat ini sangat jauh dari mencukupi jika dibandingkan dengan kebutuhan. Hanya 3% dari pembiayaan iklim internasional yang mendukung hutan, padahal hutan memiliki potensi untuk memberikan hingga 30% dari kontribusi mitigasi yang dibutuhkan untuk mencapai target iklim global.” (Versi 1)
Dalam kerangka ini, TFFF bertujuan untuk memberi “nilai” yang lebih baik atas jasa lingkungan, sekaligus menghindari komplikasi yang sering dihadapi oleh proyek-proyek REDD+ terkait isu “additionality, leakage, dan permanence” dari pengurangan emisi akibat berkurangnya deforestasi. TFFF mengklaim dirinya sebagai mekanisme untuk “mendukung seluruh spektrum jasa lingkungan hutan tropis yang kurang layak jual di pasar.” (Versi 1)
Meskipun TFFF tidak akan menghasilkan kredit karbon yang dapat diperdagangkan di pasar, mekanisme ini tetap berpotensi digunakan untuk mencuci citra hijau (greenwashing) perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di dalamnya:
“Investor dalam obligasi TFFF tidak dapat menghitung investasinya sebagai kompensasi dalam skema karbon apa pun, tetapi TFFF akan melaporkan dampaknya, dan sebagai bagian dari struktur modal TFFF, investor dari sektor pasar akan dapat mengklaim dampak investasinya dalam hal karbon yang diserap atau CO₂ yang berhasil dihindari, serta keanekaragaman hayati yang dilindungi.” (Versi 1)
Menurut kedua versi dokumen konsep TFFF, negara-negara yang menerima tantangan dalam mekanisme ini justru akan terdorong untuk mencari sumber daya dari REDD+ guna mencapai target dan tujuan mereka, sehingga TFFF dapat “memperkuat” atau “menggenjot” REDD+.
Kekhawatiran tentang potensi terjadinya “pembayaran ganda” melalui TFFF dan REDD+ tampaknya menjadi salah satu perhatian utama para sponsor potensial TFFF. Oleh karena itu, Versi 2 dari dokumen konsep menyertakan satu lampiran khusus yang membahas persoalan ini secara terpisah.
Negara Didahulukan, Masyarakat Adat Belakangan
Kedua versi catatan konsep TFFF menyebutkan bahwa pembayaran sebesar USD 4 per hektare hutan yang masih berdiri akan disalurkan kepada kementerian keuangan negara-negara peserta.
“Pengambilan keputusan yang bersifat kedaulatan: setiap pemerintah penerima akan bebas menentukan sendiri alokasi internal atas sumber daya yang diterima dari fasilitas ini, tanpa adanya aturan universal yang ditetapkan oleh fasilitas.” (Versi 1)
“TFFF tidak menentukan bagaimana negara-negara hutan tropis akan menggunakan dana yang diberikan kepada mereka.” (Versi 2)
Logika dari pendekatan ini dijelaskan dalam sebuah boks pada Versi 1 yang mengutip pandangan dari Center for Global Development:
“Bantuan cash-on-delivery (COD) berbeda dari program lain karena tidak memberlakukan prasyarat dan tidak memerlukan kesepakatan antara pendonor dan penerima tentang strategi untuk mencapai hasil. Satu-satunya ‘prasyarat’ yang relevan adalah adanya ukuran kemajuan yang baik dan cara verifikasi yang kredibel. Salah satu fitur utama dari bantuan COD adalah pendekatan non-intervensi dari pendonor, menekankan pada kepemilikan negara dan kekuatan insentif untuk mendorong hasil—bukan membiayai proyek yang memberikan panduan teknis. Dalam model ini, pendonor tidak pernah menentukan atau memantau input. Begitu pula, pendonor tidak memberlakukan syarat atau batasan penggunaan dana (pembayaran insentif). Negara penerima memiliki otoritas penuh dan fleksibilitas untuk mengambil intervensi atau kebijakan yang dapat menghasilkan hasil yang diharapkan, bahkan jika kebijakan tersebut berada di luar ranah kementerian sektoral atau pemerintah daerah terkait.” (Versi 1)

Terkait pembayaran atau pendanaan yang langsung ditujukan kepada aktor lokal yang berperan dalam menjaga hutan—seperti “pemerintah daerah, pelaku usaha, pemilik lahan individu, komunitas adat, dan lainnya”—Versi 1 menyatakan bahwa setiap negara penerima akan berkomitmen untuk “secara langsung mengalokasikan, atau melalui mekanisme pendanaan lokal tertentu,” sebagian dari dana yang diterima.
“TFFF akan melakukan pembayaran tahunan kepada Kementerian Keuangan dari negara-negara hutan tropis (TNFs). Diusulkan bahwa persentase minimum tertentu [yang akan disepakati] dialokasikan secara langsung kepada mereka yang secara efektif melestarikan hutan, seperti komunitas lokal dan pengelola kawasan lindung…” (Versi 1)
Versi 2 menetapkan besaran ini sebesar 20% untuk Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Dalam beberapa bagian dokumen disebutkan angka 20%, sementara di bagian lain disebut sebagai minimum 20%. Artinya, dari USD 4 per hektare hutan yang masih berdiri yang diterima suatu negara, sebesar 80 sen harus disalurkan secara langsung atau melalui mekanisme pendanaan kepada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Catatan konsep ini tidak menjelaskan bagaimana kebijakan ini akan diberlakukan di negara-negara yang tidak mengakui keberadaan Masyarakat Adat dalam wilayah mereka, seperti Tiongkok, atau negara-negara yang mengakui hak-hak Masyarakat Adat secara diskriminatif.
Catatan konsep terbaru menyatakan bahwa Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal memiliki atau mengelola 54% dari seluruh hutan utuh yang tersisa di dunia. Sementara itu, aktor lain di lapangan disebut sebagai penjaga hutan (forest stewards), namun tidak dirinci lagi seperti dalam versi pertama (misalnya pemerintah daerah, pelaku usaha, pemilik lahan, dan lainnya). Untuk para penjaga hutan ini, Versi 2 tidak menetapkan berapa persen dari USD 4 per hektare yang seharusnya mereka terima. Hanya disebutkan bahwa: “Negara-negara didorong untuk mengalokasikan dana yang tersisa kepada penjaga hutan, yaitu mereka yang secara langsung berkontribusi terhadap pelestarian hutan.”

Sebagian dari dana yang diterima oleh negara-negara hutan tropis harus digunakan untuk membangun dan/atau membiayai “metode pemantauan tutupan hutan alam yang transparan, standar, dan dapat diandalkan,” yang dapat menggunakan sistem negara itu sendiri atau pihak ketiga.
“Pemantauan kinerja utama akan dilakukan melalui pengamatan satelit. Diusulkan bahwa TFFF akan menetapkan parameter teknis minimum yang berlaku secara global untuk sistem pemantauan tutupan hutan nasional yang dinilai kredibel dan transparan (misalnya: resolusi, penanganan awan, frekuensi, metode publikasi data).” (Versi 1)
Singkatnya, kita sedang berhadapan dengan mekanisme yang dirancang untuk mendanai pemerintah pusat, bukan para aktor yang benar-benar menjaga kelestarian hutan di lapangan. Di atas itu semua, terdapat pertanyaan tentang apa artinya agar hutan “tetap utuh.” Apakah komunitas adat masih diperbolehkan mengambil kayu atau membuka lahan kecil demi kebutuhan subsistensi mereka? Dalam pengertian yang lebih luas, kita bisa bertanya: apakah strategi TFFF memang sekadar konservasionis, atau mungkinkah ia mengadopsi pendekatan yang berakar pada hidup berdampingan dengan hutan, sebagaimana praktik yang telah lama dijalani oleh Masyarakat Adat?
Siapa yang Bertanggung Jawab atas Utang Ini?
Tidak satu pun dari catatan konsep TFFF yang menjelaskan di mana dan bagaimana pinjaman dari negara sponsor serta obligasi yang diterbitkan kepada investor pasar akan dicatat. Siapa yang menjadi pihak yang berutang? Siapa yang akan digugat oleh investor jika mereka gagal mendapatkan kembali bunga dan modal mereka—TFFF atau negara-negara penerima manfaat? Siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi kebangkrutan? Ataukah para investor publik dan swasta ini akan melakukan investasi berisiko di mana, jika ada keuntungan, mereka menerima kembali modal mereka beserta bunganya, dan jika terjadi kegagalan, mereka kehilangan semuanya? Jika yang terakhir adalah skenarionya, hal itu tidak dinyatakan secara eksplisit. Ini menimbulkan pertanyaan apakah utang luar negeri negara-negara hutan tropis akan meningkat, mengingat dalam Versi 1 tertulis: “Dalam format yang paling sederhana, setiap negara akan memiliki kepemilikan yang setara dengan proporsi luas hutannya terhadap total hutan tropis dunia.”

Siapa yang Memegang Kekuasaan Pengambilan Keputusan?
Menurut Versi 2, akan ada dua struktur tata kelola yang berdiri secara independen di bawah payung TFFF: Dana Investasi dan mekanisme pembagian manfaat. Struktur pertama disebut Dana Investasi Hutan Tropis (Tropical Forest Investment Fund/TFIF), dan yang kedua disebut Fasilitas (the Facility).
Dana Investasi akan bertanggung jawab untuk mengelola pinjaman dan obligasi dari investor publik dan swasta, menginvestasikan modal sebesar 125 miliar dolar AS, dan setelah dikurangi semua biaya (bunga, pengembalian modal mulai tahun ke-10, serta biaya operasional), menyalurkan laba ke Fasilitas untuk dibagikan.
Fasilitas akan menentukan negara mana yang memenuhi syarat untuk bergabung dalam mekanisme ini, memantau tutupan hutan, memberikan sanksi atas terjadinya deforestasi, dan membayar pemerintah sebesar 4 dolar AS per hektare hutan yang masih berdiri.
Masing-masing lembaga ini akan memiliki dewan direksi yang terpisah dan independen. Dewan Fasilitas akan terdiri dari 18 anggota: sembilan berasal dari negara sponsor dana dan sembilan dari negara-negara hutan tropis. Setiap negara sponsor yang menyumbang lebih dari 11% dari 25 miliar dolar AS awal akan memiliki satu kursi di dewan. Negara-negara hutan tropis dari Amerika, Afrika, dan Asia akan diwakili oleh tiga perwakilan dari masing-masing wilayah: satu dari negara dengan luas hutan tropis terbesar di setiap wilayah (Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia), satu dari negara dengan tingkat deforestasi terendah di wilayah tersebut, dan satu lagi yang dipilih secara bergilir.

Dewan direksi Dana Investasi akan terdiri dari para profesional berpengalaman yang ditunjuk oleh negara sponsor berdasarkan rekomendasi dari komite independen. Anggota dewan akan menerima kompensasi finansial, meskipun posisi mereka tidak bersifat penuh waktu.
Baik Dana Investasi maupun Fasilitas akan berbagi sekretariat bersama serta wali amanat (trustee) yang sama, yaitu sebuah Bank Pembangunan Multilateral, yang kemungkinan besar adalah Bank Dunia.
TFFF dan Peta Jalan Baku ke Belem
Pendanaan iklim merupakan salah satu isu paling kontroversial dalam perundingan iklim, hanya dikalahkan oleh rendahnya ambisi negara-negara industri dalam komitmen pengurangan emisi mereka.
Pada COP 15 di Kopenhagen tahun 2009, negara-negara maju berjanji untuk mengumpulkan dana sebesar 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020 guna membantu negara-negara berkembang menghadapi perubahan iklim. Janji tentang dukungan keuangan yang “meningkat, baru, tambahan, memadai, dan dapat diprediksi” ini kemudian dimasukkan ke dalam Kesepakatan Cancún dengan istilah “mobilizing and providing” (menggalang dan menyediakan) dana 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020. Artinya, negara-negara maju tidak berkomitmen untuk menyediakan seluruh dana tersebut secara langsung, melainkan akan “menggalang” jumlah tersebut melalui hibah, pengkategorian ulang Bantuan Pembangunan Resmi (Official Development Assistance/ODA), pinjaman, pasar karbon, dan investasi swasta.
Negara-negara maju gagal menepati janji mereka. Bahkan dengan segala permainan bahasa dalam kesepakatan iklim, baru pada tahun 2022 mereka mengumumkan bahwa mereka telah “menyediakan dan menggalang” lebih dari 100 miliar dolar AS untuk negara-negara berkembang, sambil mengabaikan kenyataan bahwa dana tersebut seharusnya bersifat “baru dan tambahan.” [7]

Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund), yang diluncurkan di Cancún pada tahun 2010 dan dimaksudkan sebagai mekanisme utama pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang, hanya berhasil menggalang kurang dari 17 miliar dolar AS dalam kurun waktu 15 tahun.
Perjanjian Paris tahun 2015 tidak meningkatkan janji negara-negara maju untuk “menggalang” 100 miliar dolar AS per tahun, dan hanya menetapkan bahwa Tujuan Kuantitatif Kolektif Baru (New Collective Quantified Goal/NCQG) untuk pendanaan iklim harus ditetapkan paling lambat tahun 2025.
Pada akhir tahun lalu dalam COP 29 di Baku, para pihak dalam Perjanjian Paris menyepakati suatu keputusan terkait NCQG yang menetapkan target “menggalang” 300 miliar dolar AS per tahun hingga 2035 dari “berbagai sumber, baik publik maupun privat, bilateral maupun multilateral, termasuk sumber-sumber alternatif.” [8] Keputusan ini juga mendorong negara-negara berkembang untuk turut berkontribusi dalam pendanaan tersebut melalui kerja sama Selatan-Selatan.

Demikian pula, COP 29 menetapkan “Peta Jalan dari Baku ke Belem” (Baku to Belem Roadmap) untuk meningkatkan pendanaan iklim tahunan menjadi 1,3 triliun dolar AS pada tahun 2035 bagi “negara-negara berkembang dengan emisi gas rumah kaca yang rendah.” “Peta Jalan Menuju 1,3 Triliun dari Baku ke Belem” ini akan dikembangkan dengan partisipasi dari “seluruh pemangku kepentingan” dan akan disusun di bawah kepemimpinan Azerbaijan dan Brasil menjelang COP 30.
Brasil akan mengajukan TFFF sebagai kontribusinya terhadap Tujuan Kuantitatif Kolektif Baru (NCQG), yang bertujuan untuk “menggalang” sumber daya dari investor publik maupun swasta.
Alternatif dari Rakyat dan Alam
Kita harus mengakui bahwa hutan tropis adalah pemegang hak, bukan sekadar penyedia jasa ekosistem yang dapat dikomodifikasi melalui instrumen perbankan. Untuk menyelamatkan hutan tropis, penting untuk menyadari bahwa masalah utamanya bukan kegagalan pasar, melainkan kurangnya penghormatan dan perlindungan terhadap sistem kehidupan yang memiliki hak untuk hidup, mempertahankan siklus hidupnya, kemampuan regenerasinya, untuk tidak dihancurkan atau dicemari, menjaga integritas dan keberagamannya, serta menuntut pemulihan dan restorasi yang tepat waktu dari mereka yang telah dan terus berkontribusi terhadap kehancurannya. Pohon tidak bisa menjadi pemegang saham, sebagaimana klaim absurd para kolumnis yang mempromosikan TFFF. Hutan adalah komunitas yang kompleks dan dinamis, tempat pohon, tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan komunitas manusia saling berinteraksi, dan masyarakat adat memiliki praktik leluhur hidup berdampingan dengan hutan. Sistem kehidupan ini tidak boleh diperlakukan sebagai objek atau komoditas, tetapi harus memiliki hak untuk menggugat dan menuntut ganti rugi dari korporasi dan pemerintah yang bertanggung jawab atas kehancurannya.
Untuk menjaga sistem ini, perlu memperkuat solusi nyata yang telah dan sedang dikembangkan oleh kelompok masyarakat adat, komunitas petani, komunitas kulit hitam, quilombola, komunitas tradisional, dan organisasi akar rumput. Merekalah aktor yang harus berada di pusat tata kelola dan menjadi penerima manfaat utama dari setiap mekanisme pembiayaan yang benar-benar bertujuan menyelamatkan hutan tropis.
Kita tidak bisa memberi penghargaan kepada pemerintah nasional hanya karena jumlah hektare hutan yang masih berdiri tanpa menuntut mereka mengambil langkah tegas untuk membatasi dan membalikkan ekspansi irasional dari perkebunan monokultur (seperti kedelai, kelapa sawit, tebu, dan lainnya), peternakan yang tidak berkelanjutan, pertambangan, ekstraksi bahan bakar fosil, infrastruktur raksasa, pariwisata massal, pasar karbon, dan perdagangan satwa liar. Adalah sebuah ilusi besar jika menganggap bahwa pembayaran per hektare bisa menyelesaikan masalah-masalah struktural kapitalisme, yang sebagian besar didorong oleh modal dan perusahaan swasta, serta oleh negara.

Setiap inisiatif untuk melindungi hutan tropis harus mendorong regulasi nasional yang melarang ekspor produk-produk yang berkontribusi pada deforestasi, dan sebaliknya memberikan insentif pada produksi agroekologis yang mendukung keberlangsungan dan pemulihan hutan. Dibutuhkan kerangka regulasi internasional untuk memberikan sanksi kepada perusahaan dan negara yang membeli produk-produk yang merusak hutan tropis. Setiap mekanisme pembiayaan harus dengan tegas menetapkan sanksi terhadap negara yang menganiaya atau membiarkan serangan dan pembunuhan terhadap para pembela alam dan masyarakat adat.
Setiap mekanisme pembiayaan untuk hutan tropis harus secara langsung dan transparan mengalokasikan sebagian besar sumber daya kepada masyarakat adat dan komunitas lokal, kawasan lindung, dan pemerintah daerah yang secara nyata menjaga ekosistem hutan.
Alternatif itu ada. Kita bisa mengumpulkan sumber daya tahunan enam kali lebih besar dari yang dijanjikan TFFF (26,4 miliar dolar AS) hanya dengan mengalokasikan 1% dari seluruh anggaran pertahanan nasional ke dalam dana khusus untuk hutan. Sangat tidak dapat diterima jika dana publik digunakan untuk belanja militer sementara kelangsungan hidup hutan bergantung pada pasar saham. Menerapkan pajak sebesar 1 dolar AS per barel minyak saja bisa menghasilkan hampir sepuluh kali lipat dari target tahunan TFFF (38 miliar dolar AS), yang berharap menghimpun 4 miliar dolar AS melalui investasi tanpa jaminan di tengah krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan krisis kronis kapitalisme.
Kelangsungan hidup hutan tropis tidak akan pernah dijamin oleh solusi-solusi palsu yang bertujuan menghasilkan pendapatan bagi pemerintah nasional dan keuntungan bagi investor swasta, alih-alih menjawab krisis yang dihadapi ekosistem vital ini. Perdebatan tentang “Peta Jalan dari Baku ke Belem” hanyalah pengalih perhatian, sementara tantangan nyata kita adalah mencegah kebakaran hutan kembali melanda kawasan tropis tahun ini. Nasib hutan tropis tidak ditentukan oleh negosiasi pemerintah dalam COP 30—yang seperti konferensi iklim sebelumnya, telah dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Nasib hutan bergantung pada apa yang kita lakukan—sebagai masyarakat sipil, masyarakat adat, dan komunitas lokal—untuk memperkuat dan memperluas wilayah yang bebas dari kebakaran, deforestasi, dan kekerasan terhadap sistem kehidupan.

[1] Center for Global Development, Proposed Governance Arrangements for TFFF. https://www.jstor.org/stable/pdf/resrep29744.4.pdf
https://www.cgdev.org/sites/default/files/tropical-forest-finance-facility.pdf
[2] Brazilian Ministry of Finance and Ministry of the Environment and Climate Change, Tropical Forest Finance Facility (TFFF), Concept Note, 5 July 2024.
[3] Brazilian Ministry of the Environment and Climate Change, Ministry of Finance, and Ministry of Foreign Affairs, Tropical Forest Forever Facility (TFFF), Concept Note, 24 February 2025.
[4] The concept of environmental services or ecosystem services is controversial because it views nature not as a whole system of which we are a part, but rather as a provider of services that can be identified, fragmented, isolated, assigned a monetary value and commercialized.
[5] Presidency of the Republic of Brazil, “En la COP16, cinco países confirman su apoyo al Fondo para los Bosques Tropicales,” 31 October 2024. https://www.gov.br/secom/es/ultimas-noticias/2024/10/en-la-cop16-cinco-paises-confirman-su-apoyo-al-fondo-para-los-bosques-tropicales
[6] Katie Reytar, Peter Veit and Johanna von Braun, World Resources Institute, “Protecting Biodiversity Hinges on Securing Indigenous and Community Land Rights,” 22 November 2024. https://www.wri.org/insights/indigenous-and-local-community-land-rights-protect-biodiversity
[7] OECD, Climate Finance Provided and Mobilised by Developed Countries in 2013-2022.
[8] https://unfccc.int/documents/644460
[9] Manuela Andreoni, “An ‘Elegant’ Idea Could Pay Billions to Protect Trees,” New York Times, 3 October 2024. https://www.nytimes.com/2024/10/03/climate/brazil-climate-fund-trees.html




4 thoughts on “TFFF: Solusi Palsu untuk Hutan Tropis”
Comments are closed.